ETHIS Artikel
Islam dan Kemiskinan: Apakah Betul Ajaran Islam Mengajarkan “Hidup Miskin Lebih Baik?”
Diterbitkan pada 8 Jul 2022
Admin Relations
Dengan adanya sosial media, banyak musuh-musuh Islam yang menyebarkan berita-berita yang kurang mengenakkan dengan tujuan menumbuhkan kebencian pada ummat islam. Salah satu pemikiran yang disebarkan adalah: Ummat Islam berkaitan erat dengan yang namanya kemiskinan.
Yang lebih parah lagi, beberapa ilmuan ternama seperti Max Weber menyatakan bahwa negara-negara timur yang memegang erat keyakinan agama (apapun itu) tidak akan bisa maju, karena watak mereka yang ‘unworldly’, alias tidak terlalu mementingkan kehidupan dunia dan lebih fokus ke kehidupan selanjutnya (akhirat).
Padahal, tingkat kemiskinan suatu negara tentu dipengaruhi oleh banyak faktor, bukan karena doktrin agama saja. Apalagi, islam adalah agama yang sempurna, dan tidak melarang umatnya untuk menjadi orang kaya. Sebaliknya, islam memerintahkan umatnya untuk terus bekerja keras, mencari nafkah, agar dirinya dan keluarganya bisa hidup nyaman dan terus beribadah kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala dengan khusyuk.
Ada banyak dalil yang mendukung pernyataan diatas, salah satunya adalah ayat Al-Quran dalam surat Ath-Thalaq ayat 7, yang artinya:
“Hendaklah orang yang mampu (bekerja) memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang, melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya.” (QS. Ath-Thalaq: 7).
Ada juga sebuah hadits dari Rasulullah ﷺ yang artinya:
“Bertakwalah kepada Allah dan perbaguslah cara kalian dalam mencari rezeki. Jangan sampai tertundanya rezeki mendorong kalian untuk mencarinya dengan cara bermaksiat kepada Allah.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dan Ath-Thabrani)
Dua dalil diatas menunjukkan bahwa Islam memerintahkan kita untuk senantiasa berusaha dalam mencari rezeki, dan menafkahi keluarga kita dengan nafkah yang halal dan baik.
Jika ditanya apakah islam mengajarkan hidup susah dan miskin? Maka jawabannya tidak. Bahkan sebaliknya, islam menganjurkan umatnya untuk mencari harta dengan cara yang baik, serta senantiasa membantu orang-orang miskin yang memang membutuhkan.
Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu untuk kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu untuk kehidupan dunia” (QS Al Qashas: 77)
Di dalam ayat ini dijelaskan bahwa prioritas utama kita adalah kehidupan akhirat, akan tetapi bukan berarti kita tidak bekerja dan melupakan kehidupan dunia sebagaimana yang diklaim beberapa oknum diluar sana.
Jika kita melihat para pendahulu kita, Nabi ﷺ dan para sahabatnya adalah orang-orang yang kaya, hanya saja mereka mereka memilih hidup sederhana. Sebagai contoh, Nabi ﷺ menafkahi istrinya dengan harta yang tidak sedikit. Lihatlah Utsman bin Affan, sang saudagar kaya yang sangat dermawan. Lihatlah Abdurrahman bin Auf, sang pedagang ulung yang sangat terkenal dengan kekayaannya. Dan jika kita lebih teliti dalam membaca sejarah para sahabat, banyak dari mereka yang memiliki harta yang berlimpah, hanya saja mereka lebih banyak menginfakkannya dijalan Allah, demi kepentingan umum umat islam.
Para ulama juga pada dasarnya memiliki akses kekayaan yang luar biasa. Akan tetapi dengan ilmu yang mereka miliki, mereka lebih memilih untuk hidup secukupnya, dan lebih banyak menggunakan hartanya untuk membantu kaum muslimin yang membutuhkan. Betapa banyak para ulama dan masyayikh yang sudah membantu muridnya lolos dari jeratan utang. Betapa banyak para ulama yang mewakafkan tanah mereka yang begitu luas untuk dimanfaatkan oleh kaum muslimin.
Sejatinya, islam tidak menganjurkan hidup miskin. Hiduplah secukupnya, carilah nafkah dengan cara yang baik, dan jika berlebih, gunakan harta tersebut untuk maslahat ummat agar menjadi bekal kita di akhirat kita kelak.
Jangan mudah termakan ideologi-ideologi miring tentang agama, kita apalagi menjadikan agama sebagai alasan atas kemalasannya. “Kami tidak mencari dunia,melainkan memprioritaskan akhirat”. Mindset seperti ini memang tidak sepenuhnya salah, akan tetapi tidak bisa dijadikan alasan mengapa kaum muslimin banyak yang hidup miskin karena kemalasan mereka.
Karena dengan kita memiliki kekayaan, tentu akan semakin banyak pintu yang terbuka untuk mendapatkan pahala besar: baik dengan sedekah, wakaf, zakat, dan lain sebagainya.
PT. ETHIS FINTEK INDONESIA
Rukan Puri Mansion blok B no. 7 Jalan Outer Ring West Kembangan, RT.2/RW.1, Kembangan Sel., Kec. Kembangan, Kota Jakarta Barat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 11610
Dukungan Pelanggan: support@ethis.co.id
Waktu Pelayanan: 09.00 - 18.00 WIB
Perhatian:
1. Layanan Pendanaan Syariah Berbasis Teknologi Informasi (P2P Financing) merupakan kesepakatan perdata antara pemberi pendanaan dengan penerima pendanaan, sehingga segala resiko akan ditanggung oleh masing-masing pihak.
2. Risiko gagal bayar akan ditanggung oleh pemberi pendanaan, diluar fraud atau mismanagement. Penerima pendanaan akan bertanggung jawab apabila terjadi fraud atau mismanagement sebagaimana ketentuan bagi resiko (Risk Sharing) secara syariah. Tidak ada lembaga atau otoritas negara yang bertanggung jawab atas risiko pendanaan atau gagal bayar ini atau mengkompensasi pihak manapun atas kerugian, kerusakan, biaya atau konsekuensi yang timbul dari sehubungan dengan hal tersebut.
3. Penyelenggara dengan persetujuan dari masing-masing pengguna (pemberi pendanaan dan/atau penerima pendanaan) mengakses, memperoleh, menyimpan, mengelola dan/atau menggunakan data pribadi pengguna (“Pemanfaatan Data”) pada atau di dalam benda, perangkat elektronik (termasuk smartphone atau telepon seluler), perangkat keras (hardware) maupun lunak (software), dokumen elektronik, aplikasi atau sistem elektronik milik Pengguna atau yang dikuasai Pengguna, dengan memberitahukan tujuan, batasan dan mekanisme Pemanfaatan Data tersebut kepada Pengguna yang bersangkutan sebelum memperoleh persetujuan yang dimaksud.
4. Pemberi pendanaan yang belum memiliki pengetahuan dan pengalaman terhadap layanan pendanaan ini, disarankan agar tidak menggunakan layanan pendanaan ini.
5. Penerima pendanaan wajib mempertimbangkan tingkat bagi hasil / margin / ujroh serta biaya – biaya lainnya sesuai dengan kemampuan dalam melunasi pendanaan.
6. Setiap kecurangan yang terjadi akan tercatat secara elektronik di dunia maya dan dapat diketahui oleh masyarakat luas melalui media sosial.
7. Pengguna harus membaca dan memahami informasi ini sebelum membuat keputusan menjadi pemberi pendanaan atau penerima pendanaan.
8. Pemerintah yaitu dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tidak bertanggung jawab atas setiap pelanggaran atau ketidakpatuhan oleh pengguna, baik pemberi modal maupun penerima modal (baik karena kesengajaan atau kelalaian Pengguna) terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan maupun kesepakatan atau perikatan antara penyelenggara dengan pemberi modal dan/ atau penerima modal.
9. Setiap transaksi dan kegiatan pemberian modal, pendanaan, pinjam meminjam atau pelaksanaan kesepakatan mengenai pendanaan antara atau yang melibatkan Penyelenggara, Pemberi Modal, Mitra Lapangan dan/atau Penerima Modal wajib dilakukan melalui escrow account dan virtual account sebagaimana yang diwajibkan berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/ POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi.