ETHIS Artikel
Peran Dewan Pengawas Syariah Bagi Perusahaan P2P Syariah
Diterbitkan pada 20 Mei 2022
Admin Relations
Ekonomi syariah di Indonesia terus berkembang hingga saat ini. Hal itu terbukti dengan meningkatnya antusiasme masyarakat dalam menggunakan jasa keuangan syariah dan mengkonsumsi produk-produk halal.
Perkembangan ekonomi syariah di Indonesia juga berdampak pada pertumbuhan lembaga-lembaga keuangan syariah dengan berbagai produk dan jasa yang sesuai dengan syariat Islam.
Dengan berkembangnya lembaga keuangan berbasis syariah, para ulama juga dituntut untuk turut mengambil peran dalam memberikan masukan demi kemajuan lembaga keuangan syariah di negara kita.
Oleh karena itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) membentuk Dewan Syariah Nasional (DSN) sebagai bentuk usaha mereka untuk mengkoordinasikan para ulama di berbagai lembaga maupun daerah dalam menanggapi isu-isu masalah ekonomi dan keuangan yang berbasis syariah.
Di samping itu, DSN juga diharapkan menjadi pendorong dan pengawas dalam penerapan prinsip-prinsip ajaran islam dalam kehidupan ekonomi syariah Indonesia.
Dewan Pengawas Syariah (DPS) merupakan suatu lembaga yang dibentuk untuk menjamin bahwa berbagai kegiatan ekonomi khususnya di lembaga keuangan syariah sudah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Merujuk kepada surat yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional No.3 tahun 2005, Dewan Pengawas Syariah (DPS) ialah bagian dari lembaga keuangan syariah yang bersangkutan, dan penempatannya atas persetujuan Dewan Syariah Nasional (DSN).
Supaya tugas Dewan Pengawas Syariah bisa lebih efektif, tentu harus ada peningkatan pengetahuan dan pemahaman setiap anggota DPS tentang berbagai akad, skema, dan hal-hal lain yang berkaitan erat dengan lembaga keuangan syariah, termasuk salah satunya adalah lembaga fintech syariah.
Sebagaimana yang sudah disebutkan di awal, Dewan Pengawas Syariah (DPS) dibentuk untuk mengawasi Bank dan Lembaga Keuangan Syariah supaya semua kegiatan dan produk-produk lembaga tersebut benar-benar sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
DPS juga berperan besar dalam perkembangan produk-produk syariah, seperti P2P lending dari Industri Teknologi Finansial (Fintech) berbasis syariah. Dan diantara peran dan tugas tersebut adalah:
Supervisor, dimana DPS bertugas dalam pengawasan langsung mengenai apakah aktivitas ekonomi di lembaga-lembaga tersebut sudah sesuai dengan syariah dan mematuhi fatwa-fatwa DSN MUI mengenai operasional Lembaga Keuangan Syariah (LKS).
Advisor. DPS juga bertugas untuk memberikan nasehat, saran dan arahan mengenai pengembangan produk dan jasa keuangan syariah. DPS juga menjadi wadah konsultasi supaya inovasi produk di LKS bisa maksimal tanpa harus melanggar prinsip-prinsip syariah.
Market. DPS berperan menjadi mitra strategis dalam pertumbuhan industri LKS termasuk Fintech Syariah, sehingga kedepannya mereka bisa terus meningkatkan kualitas dan kuantitas produk maupun jasa lembaga keuangan syariah di Indonesia, termasuk P2P lending syariah sebagai instrumen investasi.
Supporter. DPS juga dituntut untuk bisa menjadi supporter bagi industri P2P lending syariah dengan terus memberikan dukungan dengan berbagai bentuknya, demi perbaikan produk-produk fintech syariah khususnya P2P Lending syariah, serta memaksimalkan potensinya di masa mendatang
Player, karena DPS berhak terjun langsung menjadi pemain dan pelaku ekonomi syariah, baik sebagai pemilik, pengelola maupun mitra/nasabah penyalur dan pendana, khususnya dalam P2P Lending Syariah.
Mengawasi pengembangan berbagai produk keuangan baru, supaya produk-produk baru tetap bisa sejalan dengan prinsip-prinsip syariah, serta menjauhi berbagai transaksi haram maupun syubhat.
Melakukan review secara berkala terhadap produk-produk fintek syariah, dan memastikan bahwa produk-produk tersebut betul-betul sesuai dengan prinsip syariah.
Itulah beberapa peran DPS dalam pengembangan P2P Lending Syariah. Peran DPS ini harus dilakukan dengan sebaik-baiknya agar praktik P2P Lending syariah benar-benar sejalan dengan maqashid syariah.
DPS juga berperan dalam melindungi P2P Lending syariah dari risiko syariah, Jangan sampai P2P lending syariah jadi kehilangan kepercayaan masyarakat karena adanya isu pelanggaran syariat didalam produknya.
Sumber: repository.uinjkt.ac.id
PT. ETHIS FINTEK INDONESIA
Rukan Puri Mansion blok B no. 7 Jalan Outer Ring West Kembangan, RT.2/RW.1, Kembangan Sel., Kec. Kembangan, Kota Jakarta Barat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 11610
Dukungan Pelanggan: support@ethis.co.id
Waktu Pelayanan: 09.00 - 18.00 WIB
Perhatian:
1. Layanan Pendanaan Syariah Berbasis Teknologi Informasi (P2P Financing) merupakan kesepakatan perdata antara pemberi pendanaan dengan penerima pendanaan, sehingga segala resiko akan ditanggung oleh masing-masing pihak.
2. Risiko gagal bayar akan ditanggung oleh pemberi pendanaan, diluar fraud atau mismanagement. Penerima pendanaan akan bertanggung jawab apabila terjadi fraud atau mismanagement sebagaimana ketentuan bagi resiko (Risk Sharing) secara syariah. Tidak ada lembaga atau otoritas negara yang bertanggung jawab atas risiko pendanaan atau gagal bayar ini atau mengkompensasi pihak manapun atas kerugian, kerusakan, biaya atau konsekuensi yang timbul dari sehubungan dengan hal tersebut.
3. Penyelenggara dengan persetujuan dari masing-masing pengguna (pemberi pendanaan dan/atau penerima pendanaan) mengakses, memperoleh, menyimpan, mengelola dan/atau menggunakan data pribadi pengguna (“Pemanfaatan Data”) pada atau di dalam benda, perangkat elektronik (termasuk smartphone atau telepon seluler), perangkat keras (hardware) maupun lunak (software), dokumen elektronik, aplikasi atau sistem elektronik milik Pengguna atau yang dikuasai Pengguna, dengan memberitahukan tujuan, batasan dan mekanisme Pemanfaatan Data tersebut kepada Pengguna yang bersangkutan sebelum memperoleh persetujuan yang dimaksud.
4. Pemberi pendanaan yang belum memiliki pengetahuan dan pengalaman terhadap layanan pendanaan ini, disarankan agar tidak menggunakan layanan pendanaan ini.
5. Penerima pendanaan wajib mempertimbangkan tingkat bagi hasil / margin / ujroh serta biaya – biaya lainnya sesuai dengan kemampuan dalam melunasi pendanaan.
6. Setiap kecurangan yang terjadi akan tercatat secara elektronik di dunia maya dan dapat diketahui oleh masyarakat luas melalui media sosial.
7. Pengguna harus membaca dan memahami informasi ini sebelum membuat keputusan menjadi pemberi pendanaan atau penerima pendanaan.
8. Pemerintah yaitu dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tidak bertanggung jawab atas setiap pelanggaran atau ketidakpatuhan oleh pengguna, baik pemberi modal maupun penerima modal (baik karena kesengajaan atau kelalaian Pengguna) terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan maupun kesepakatan atau perikatan antara penyelenggara dengan pemberi modal dan/ atau penerima modal.
9. Setiap transaksi dan kegiatan pemberian modal, pendanaan, pinjam meminjam atau pelaksanaan kesepakatan mengenai pendanaan antara atau yang melibatkan Penyelenggara, Pemberi Modal, Mitra Lapangan dan/atau Penerima Modal wajib dilakukan melalui escrow account dan virtual account sebagaimana yang diwajibkan berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/ POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi.